GAUL ITU GAK AMBURADUL

“Aaaahhhhhh…..Jedeerrrr!!!!” aku menutup pintu kamarku dengan kasar dan melemparkan tubuhku di tempat tidur, tak aku pedulikan lagi serentetan omelan yang Mama berikan kepadaku hari ini. Aku kesal diperlakukan sebagai anak kecil terus. Aku Rinda Kusumaranti, usiaku 18 tahun lebih 6 bulan, sudah kulewati 17 tahun hidupku dengan mengikuti semua aturan Mamaku tanpa terkecuali. Sekarang aku hanya mau dianggap dewasa sesuai dengan usiaku, toh aku bukan lagi anak SMA ingusan yang kerap diantar jemput ke sekolah. Sekarang aku sudah menjadi seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi ternama di kotaku, itu berarti aku sudah boleh memiliki aturan sendiri.
“Kenapa sih Mama selalu seperti itu, kayak gak pernah muda aja, sebeeeelllll, huh!” gerutuku di sela-sela isak tangisku.
“Tok..tok..tok..tok.. Rantiiii… buka pintunya Nak, Mama mau ngomong..”
“Ranti, Mama ngomong begini bukan berarti Mama gak pernah muda, karena Mama pernah jadi muda makanya Mama bisa ngomong seperti ini. Mama gak mau kamu nyesal nantinya....”
Suara Mamaku terdengar parau di balik pintu kamarku. Ada rasa sesal dalam hatiku, kenapa aku membuat Mamaku ngomel-ngomel tadi. Setahuku Mama bukan tipe seorang ibu yang pemarah karena sejak aku kecil hingga saat ini Mama tidak pernah marah. Mamaku lebih memilih untuk memberi nasihat pelan-pelan dari pada marah. Hal itu juga yang membuat hampir semua sahabatku di SMA suka curhat sama Mamaku, bahkan lebih dari pada kepada ibu mereka.
“Tapi Mama bukan berarti bisa memarahiku seperti itu kan..? Mama yang gak ngertiin aku, anaknya yang uda gedhe ini... Pokoknya Mama yang salah, Mama yang harus minta maaf sama aku, titik”
Masih aku menggerutu membela diriku. Tapi setelah aku ucapkan kata-kataku, tangisku malah semakin menjadi. Terbayang di mataku, Mama yang sedih mendengar kata-kata kasarku tadi di depan pintu. Kata-kata itu pun terngiang kembali di telingaku seperti kaset yang sedang diputar ulang...
“Rantiiii.... anak gadis kok pulang jam segini, dari mana saja kamu? Tahu gak sih kalau Mama nungguin kamu sejak sore tadi?”
“Aaahhhh apa sih Mama, kenapa sih sejak Ranti kuliah Mama kayak gak suka gitu kayak Mama gak pernah jadi orang muda. Biasalah Ma kalau Ranti pulang jam 1 an gini, lagi pula Ranti udah bawa kunci duplikat Mama gak usah nugguin Ranti pulang. Lagi pula apa salahnya toh juga malam minggu. Ranti tuh udah gedhe Mama.... temen Ranti juga udah banyak gak cuma dari kota ini aja, salah kalo Ranti tambah temen, salah kalo Ranti ikut gaul bareng mereka? Ranti malu Ma dibilang anak cupu yang gak gaul karena nurutin kemauan Mama yang kuno terus-terusan....”
“Rantiiiii!!!!!!!............. Dari mana kamu belajar bersikap seperti itu sama Mama......”
Baru secuil kata-kata Mama yang aku dengar aku langsung meninggalkan Mama berdiri di belakangku dan berlindung di dalam kamar ini. Ruang inilah yang akhir-akhir ini menjadi tempat pelarian keduaku selain di luar rumah saat Mama dah mulai ngomel karena kegiatanku.
Terbayang wajah sedih Mamaku yang terakhir aku lihat malam ini. Perasaanku makin gak tenang, aku masih ingat saat-saat senyum Mama menghantarku pergi ke kamar sebelum aku tidur. Tiba-tiba aku kangen senyum itu..
“Pasti Mama punya maksud baik dengan tegurannya tadi,... lebih tepatnya minggu-minggu ini Mama sering menegurku. Tapi apa yang salah, dimana yang salah? Padahal Mama bilang supaya aku harus kenal banyak orang...huhuhu.”
Aku bergulat dengan pikiranku sendiri, membandingkan semua fakta seperti apa Mamaku dan bagaimana sikapku akhir-akhir ini pada Mama.
“Huhuhu... aku harus cari tahu, aku gak mau kehilangan senyum Mama di hidupku karena hal ini.”
Aku menghapus air mataku dan bergegas menemui Mama. Pintu kamar kubuka pelan-pelan dan aku berjalan ke kamar Mama yang berhadapan dengan kamarku.
“Deegg!!”
Jantungku berdebar begitu melihat pintu kamar Mama yang di cat warna krem, warna yang hangat seperti pribadi Mama. Mataku berkaca-kaca lagi, membuat langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar Mama. Kuseka air mata yang mulai mengalir lagi sambil mengatur nafasku sebelum kuketuk pintu itu. Sayup-sayup aku dengar suara Mama berbicara sambil terisak-isak. Hatiku jadi merasa sakit mendengar orang tua tunggalku itu menangis, aku jadi ingat janjiku 10 tahun yang lalu waktu Papa meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Hari itu aku berjanji bahwa aku tidak akan membuat Mama menangis lagi selain tangisan bahagia atas keberhasilan belajarku. Tapi hari ini aku sudah melanggar janjiku sendiri
Aku kaget menyadari kesalahanku, air mataku kembali mengalir. Makin mantap aku untuk bergegas minta maaf sama Mama. Pelan-pelan kuayun pegangan pintu kamar Mama dan kudorong pintunya. Di balik pintu kamar, Mama duduk di sisi tempat tidur.. Bibir mama komat-kamit seperti sedang berdoa. Aku tetap berdiri di tempat menunggu Mama selesai berdoa. Setelah selesai berdoa, Mama menoleh ke arahku dan tersenyum
 “Ranti.. sini duduk dekat Mama. Mama tahu, kamu pasti ingin mendengar alasan Mama melarang kamu ini dan itu..”
Keramahan Mama menyambutku. Inilah Mama yang aku kenal, selalu tahu kapan aku memerlukan jawaban. Akupun berjalan mendekati Mama tanpa ragu, kupandang mata Mama yang bening dan tulus. Aku melihat cahaya kasihnya untukku di sana, mata yang tegar menghadapi segala polah tingkahku hari-hari ini. Sekaranglah saatnya, semua akan menjadi jelas. Aku lihat senyum Mama mengembang menyambut tubuhku di dekatnya. Kami berpandangan, ada keteduhan kurasakan dalam hatiku saat kulihat mata Mamaku. Dia menggenggam tanganku dan mengelus kepalaku dengan lembut
“Hhhh...maaf ya Ranti sayang, Mama kurang memperhatikan perkembanganmu. Mama baru menyadarinya dan langsung membatasimu tanpa memberi tahu alasannya.”
Air mataku mengalir, aku tak kuasa menahan tangis di hadapan Mama. Aku membenamkan tubuhku di pelukan Mama, rasanya hangat sekali.
 “Bukan berarti Mama melarangmu bergaul tetapi ada hal-hal yang harus Ranti mengerti dan Ranti pegang erat-erat hal itu seumur hidup, agar Ranti tidak tersesat dan menyesalinya.”
Aku mendengar Mama berkata dengan lembut di dekat telingaku sambil membelai rambutku. Aku merenggangkan pelukanku dan menghela nafas untuk siap-siap berargumen dengan Mama
“Ma.. Ranti cuma pengin gak dianggep kuper sama temen-temen hanya karena gak ikut acara mereka, Ranti mau diterima sebagai teman.”
Mamaku diam tak menjawab tapi matanya tetap menatapku, seakan tahu apa yang aku ungkapkan itu belum selesai semua.
“Ranti cuma bingung bagaimana Ranti bisa diterima oleh teman-teman Ranti yang baru? Ranti gak suka dibilang jadul, kuno karena gak gaul kayak mereka.”
“Menurut Ranti gaul itu kayak gimana?”
Pertanyaan Mama membuatku berpikir, apa yang aku lihat dan aku pahami selama ini.
“Uhhmmm... Gaul itu berarti gak ketinggalan jaman... banyak teman... Uhhhmmm.... tahu banyak hal.. begitu Ma?”
“Nah itu tahu... Ranti pinter kok, tahu bagaimana menjelaskannya. Bener Ranti, gaul itu punya wawasan luas, tahu banyak hal baik itu yang buruk maupun dan bisa ambil sikap serta memutuskan segala hal dengan bijaksana. “ tambah Mama sambil mengecup keningku.
            “Selama Ranti pulang malam, ada keuntungannya buat Ranti nda?”
Pertanyaan Mama kembali membuatku merenungkan sesuatu..
“Uhhmmm...selama hari-hari terakhir ini Ranti ngerasa cepet capek Ma, gak bisa bangun pagi. tugas-tugas kuliah jadi gak selesai semuanya, trus waktu kuliah jadi ngerasa ngantuk terus.” Jawabku
“Ma apa itu alasannya ya? Tapi Ranti seneng, rasanya have fun bareng temen-temen...” selidikku
“Kalau mau maen kenapa harus sampe malem? Padahal kalian masih kuliah, masih harus menyelesaikan tugas, belum lagi belajar untuk ujian dan sebagainya. Kalau waktu bisa dipakai untuk hal-hal yang lebih bermanfaat kenapa malah mempergunakan waktu untuk have fun gak jelas? Bukannya itu berarti kalian harus kerja dua kali dari waktu yang sebenarnya bisa dipakai?
Aku manggut-manggut menyetujui apa yang dipaparkan Mama. Pikirku bener juga apa yang Mama bilang, mau jadi gaul kok malah neko-neko bikin capek di badan apalagi semua kerjaan jadi gak selesai gara-gara have fun gak jelas.
“Coba kalau kalian pakai waktu kalian dengan belajar bareng di rumah misalnya, atau ikut kegiatan ekstrakulikuler di kampus, setahu Mama banyak macamnya dan sepertinya sangat menarik.” Mamaku mulai berpendapat.
“Uhhmmm... bukankah lebih bagus kalau kalian gaul dengan menunjukkan prestasi kalian? Makin bermanfaat kan?” tambahnya.
“Usulan Mama bener juga. Banyak kegiatan yang menarik di kampus Ma, yang tentunya akan semakin menambah wawasanku. Jadi Rinta sama temen-temen gak cuma belajar di kelas tapi juga bisa mengembangkan bakat di berbagai ekstrakulikuler di kampus. “ pikiranku mulai terbuka dengan apa yang seharusnya sudah bisa kulihat di dunia kampus.
“Uhhhmmm Mama... Maafin Rinta ya Ma, udah buat Mama sedih... makasih Mama udah sabar sama Rinta beberapa waktu ini...” kataku tulus.
“udah... Mama udah maafin semua, Mama tahu kok kalau Rinta belum ngerti harus bersikap apa, bersyukurnya Rinta bisa memperbaiki sikap Rinta sebelum terlambat.” Kata Mama sambil memegang bahuku
Aku peluk Mamaku erat-erat. Wuaaahhh.... lega rasanya aku hari ini semua menjadi jelas, apa yang mengganjal diantara aku dan Mama sudah tidak ada lagi. Aku tahu, aku percaya apa yang menjadi larangan dari Mama itu berarti Mama punya maksud baik buatku.

Solo, 5 Agustus 201217.10 WIB      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALADA ANGAN ANGIN-ANGIN

--- Doa Imanku ---

A little bite of cookie